pertanian

pertanian
selamat bekerja

Minggu, 07 Oktober 2012

Telaah Terhadap Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan Dalam Rumah Tangga



Telaah Terhadap Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Oleh: C.Richard Mandalora.

Abstrak
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga, adalah suatu hal yang patut diungkapkan dan diteliti mengenai akar dan penyebabnya. Masyarakat tradisional menganggap hal tersebut adalah suatu kewajaran dimana suami memiliki hak penuh untuk menentukan perjalanan rumah tangganya. Akhirnya, pergeseran paradigma terjadi dimana masyarakat saat ini memiliki pandangan yang menganggap keseriusan akan tindakan tersebut. Diberlakukannya Undang-undang anti kekerasan rumah tangga, adalah salah satu wujud keperdulian akan hal tersebut. Apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran pandangan? Telaah secara filosofis bisa memberikan penjelasan akan hal tersebut.
Key Word: Agresi, Stimuli, Feminisme, Gender, Moral, Etika, Post-Modernisme.
Pendahuluan
Banyak kita temukan dalam mass media berita-berita mengenai kekerasan ataupun penyiksaan baik fisik atau mental didalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri. Berita yang cukup mengagetkan dan mengerikan yang mungkin menurut pemikiran kita tidaklah sepatutnya dilakukan antar pasangan keluarga. Pemicu persoalan yang terkadang bisa dianggap tidak penting, dapat membangkitkan suatu tindakan kekerasan yang brutal. Luka berat, luka bakar, tewas, stress berat ataupun cacat, adalah hal yang biasa terjadi akibat dari tindakan kekerasan tersebut. Ironisnya dalam wadah keluarga dimana seharusnya antara pasangan suami dan istri memiliki perasaan yang saling mencintai, mengisi dan berbagi. Pertalian yang dikatakan sebagai cintalah yang mengikat mereka untuk berkomitmen hidup bersama dalam suatu legalitas hukum. Fakta yang terjadi dimasyarakat umum dalam suatu keluarga bisa terjadi hal2 seperti diatas, fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja namun hampir terjadi diseluruh bagian dunia.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak saja terjadi pada masa sekarang, namun sepanjang sejarah manusia telah dijumpai berbagai bukti-bukti adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Mengapa pada zaman lampau kekerasan ini dianggap sebagai suatu yang biasa? Mengapa tindakan ini pada era lampau dianggap sebagai suatu urusan rumah tangga murni yang tidak perlu secara serius dipersoalkan? Mengapa pada zaman ini tindakan ini menjadi suatu sorotan utama dari para penegak hukum dan juga lembaga-lembaga masyarakat? Fenomena apa yang terjadi dibalik semua ini?
Ini adalah suatu pertanyaan yang perlu diberikan penjelasan mengenai apakah adanya pergeseran paradigma dalam masyarakat, melalui keperdulian terhadap tindakan tersebut? Berbagai bukti yang nyata keperdulian masyarakat saat ini, adalah adanya berbagai undang-undang yang diberlakukan di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya, mengenai perlindungan terhadap hubungan antar anggota keluarga. Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini adalah produk hukum yang bertujuan memberikan perlindungan bagi suatu pertumbuhan dan kehidupan keluarga yang baik.

Agresi Dan Kekerasan 
Agresi/Aggression menurut Oxford Dictionary diartikan sebagai “unprovoked attack” , definisi umum adalah suatu tindakan, serangan yang dilakukan terhadap pihak lain. Suatu agresi erat kaitannya dengan Kekerasan, kedua kata ini biasanya ditemukan dalam wacana pertempuran, peperangan atau perseteruan antara dua atau beberapa pihak dalam memperebutkan, mempertahankan sesuatu. Tidak selalu suatu agresi dilakukan dengan kekerasan, namun dalam keseharian dimasyarakat biasanya suatu agresi diikuti dengan kekerasan atau tekanan. Besar kecilnya tingkat tindakan kekerasan atau tekanan yang dilakukan bergantung kepada keinginan pelakunya sendiri. Bagaimana pelaku merespon naluri yang membangitkan tindakan kekerasan yang akan dilakukannya dalam suatu agresi merupakan suatu topik yang banyak diteliti oleh para pemikir.
Kekerasan dalam pengertian umum adalah tindakan fisik manusia untuk melukai, merusak, memukul, membakar kepada sasaran yang dapat menyebabkan kerusakan, terluka, hancur. Timbul pula kekerasan secara psikologis, yaitu kekerasan yang timbul setelah kekerasan fisik. Penderitaan psikis yang dialami setelah keadan penyiksaan terjadi.
Terdapat beberapa pemikiran mengenai tindakan perilaku manusia yang berkaitan erat dengan agresi dan kekerasan, yang berkembang dari berbagai sudut pandang:
Menurut K. Lorenz, 1970 : Suatu keadaan “agresi” dalam diri species pada dasarnya bukanlah reaksi terhadap stimuli luar, melainkan rangsangan dalam yang sudah “terpasang” yang mencari pelampiasan dan akan terekspresikan sekalipun dengan ransangan yang berasal dari luar sekecil apapun, yang menjadikan berbahaya adalah spontanitas insting itu sendiri. Model ini kemudian dinamakan sebagai “teori hidrolik agresi”.
Gagasan lain menurut Lorenz, agresi adalah kepentingan untuk mendukung kelangsungan hidup suatu species. Menempatkannya kedalam habitat yang sama dan menyeleksi siapa yang unggul dan menerapkan strata sosial. Insting yang ada dibinatang ini, menjadi sangat berlebihan jika berada dalam diri manusia. Lorenz (1966), merasa belum puas akan penjelasannya tersebut, dan memberikan penjelasan tambahan kembali :
Sangatlah mungkin bahwa intensitas kedestruktifan dari dorongan agresi, masih merupakan kejahatan turun menurun dalam diri manusia. Merupakan konsekuensi dari proses seleksi intra-spesifik yang terjadi pada leluhur kita, pada tahap kepemilikan senjata, pakaian dan organisasi sosial. Dimana bahaya-bahaya dari cuaca, terkaman binatang buas, dll, telah teratasi sehingga tidak lagi menjadi faktor utama yang mempengaruhi seleksi. Terjadilah seleksi intra-spesifik yang bersifat jahat seperti perang antar suku yang tinggal berdekatan.
Pendapat Lorentz ini menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan bertindak dalam suatu agresi adalah suatu natur alami. Tindakan yang dilakukan berupa usaha dalam mempertahankan habitat kelompoknya dari lingkungan dan alam. Dalam perjalanannya terjadi pergeseran, dimana kemajuan pemikiran dan tehnologi memberikan suatu “perlengkapan”, yang menjadikan individu tersebut lebih siap dalam menghadapi lingkungan dan alam. Dimasa tersebut maka sifat dasar atau natur inilah yang melahirkan suatu tindakan agresi dengan melakukan kekerasan diantara mereka sendiri atau kelompok yang ada. Menurut pendapat ini bahwa natur manusia itu tetap timbul dalam suatu kepribadian manusia.
Adanya pendapat dari pemikir lain yang memberikan pandangan mengenai adanya natur kepribadian dari manusia cukup memberikan tambahan wacana kepada kita mengenai keadaan tersebut.
Menurut Sigmund Freud (6 Mei 1856 - 23 September 1939):
Bahwa motif tak sadar mengendalikan sebagian besar perilaku manusia. Kepribadian manusia adalah kombinasi dari adanya komponen id, ego dan super ego.
Id adalah komponen yang mengendalikan dorongan biologis seperti dorongan sex dan sifat agresif dalam diri manusia. Bertindak hanya berdasarkan kesenangan semata oleh karena itu sering disebut sifat kehewanan manusia.
Super Ego, adalah hati nurani yang bertindak atas dasar prinsip moral, dan merupakan internalisasi dari norma cultural dan social dari masyarakat.
Ego, adalah komponen dari kepribadian yang menjembatani antara keinginan id dan super ego.
Sehingga menurut Freud, bahwa dalam perilaku manusia hasil dari tindakan yang dilakukan merupakan interaksi dari ketiga komponen diatas.
Freud juga mengemukakan pendapat bahwa kepribadian manusia dipengaruhi oleh tingkatan psychosexual, yang dibagi dalam tiga tingkatan fase:
1. Oral stage, mencirikan pada anak umur 0-0.5 tahun dengan kesenangan pada bagian mulut dan bibir seperti: menggigit, mengemut, menelan.
2. Anal stage, mencirian pada anak umur 1.5-3 tahun dimana keinginan untuk mempermainkan sesuatu yang keluar dari analnya.
3. Phallic stahe, mencirikan anak umur 3-6 tahun yang tertarik pada bagian vitalnya.
Menurut freud hubungan antara kepribadian individu dan fase perkembangan adalah konflik yang terjadi pada masa tertentu akan mempengaruhi kepribadian seseorang pada saat beranjak dewasa, yang mengakibatkan dua hal yaitu disebut fixation dan regression. Jika seseorang mengalami perasaan fixation pada anal stage, maka ia akan cenderung kikir dan kepala batu.
Pemikiran Freud ini memberikan suatu wacana yang berbeda dalam pemikiran mengenai kepribadian manusia, persamaan dengan pemikiran dari Lorentz adalah adanya suatu kecenderungan/natur yang ada pada manusia untuk melakukan suatu tindakan lanjut setelah mengalami suatu stimuli, walaupun dalam beberapa sudut pandang pendapat keduanya memiliki perbedaan.
Menurut Davidoff, 1991: Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi, yaitu :
1) Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
2) Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
3) Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.
Menurut J.B Watson (1914):
Mengatakan bahwa segala sesuatu tingkah laku manusia merupakan hasil conditioning, yaitu suatu hasil dari latihan atau kebiasaan bereaksi terhadap syarat atau perangsang tertentu yang dialami dalam kehidupannya.
Menurut pandangannya manusia dengan adanya pembiasaan atau rangsangan tertentu yang terus menerus maka dapat memberikan suatu tingkah laku atau perilaku yang sesuai dengan apa yang diresponinya. Dalam konteks kekerasan maka jika seorang mendapatkan stimuli berupa tindakan kekerasan terus menerus dari lingkungannya, maka hal tersebut akan memberikan suatu tingkah laku yang cenderung melakukan tindakan kekerasan juga.
Dari beberapa pendapat para pemiikir diatas mengenai suatu tindakan agresi yang ada pada individu, terdapat benang merah yang dapat kita simpulkan sebagai suatu kesamaan, yaitu : Pada dasarnya natur manusia memiliki suatu kecenderungan melakukan suatu tindakan kekerasan. Besar kecilnya intensitas tindakan tersebut akan menjadi suatu pengalaman pribadi melalui pengaruh lingkungan ataupun sosial yang ada disekelilingnya. Tindakan agresi dapat merupakan suatu tindakan yang dilakukan manusia atas stimuli yang terjadi akibat dari aksi lingkungan luar ataupun sesama. Respon tindakan yang dihasilkan, akan mengarah kepada intensitas dari dominasi pengalaman pribadi yang ada. Faktor dominasi pengalaman pribadi inilah sebenarnya yang akan menentukan tindakan seseorang. Seseorang dengan pengaruh dari lingkungan yang kasar dan kurang memiliki etika, maka akan membentuk suatu pengalaman pribadi yang didominasi oleh kecenderungan melakukan tindakan kearah kekasaran. Jika ia menerima suatu stimuli dari luar menyebabkan ia akan melakukan suatu tindakan, maka tindakan yang akan dilakukannya cenderung berbentuk kekasaran kepada sesama atau lingkungannya. Namun jika seseorang yang memiliki pengaruh lingkungan yang halus dan memiliki etika yang baik, maka ia akan mendapatkan pengalaman pribadi sebagai seorang yang sopan. Jika ia mendapatkan suatu stimuli dari luar maka tindakan yang terjadi memiliki kecenderungan berupa suatu tindakan yang sopan.

Budaya Masyarakat Tradisional
Pandangan masyarakat tradisional yang menganggap bahwa kedudukan pria memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada wanita dalam berbagai posisi pada zamannya disebutkan sebagai hal yang wajar. Berbagai kondisi tersebut diperkuat dengan adanya konsep kepala keluarga “Patrilineal” dimana garis keturunan keluarga diambil dari garis keturunan laki-laki. Budaya masyarakat tradisionil yang agraris menganggap bahwa anak laki-laki memiliki keuntungan sendiri, karena dapat membantu dalam pekerjaan pertanian ataupun ladang. Laki-laki secara fisik memiliki kekuatan yang lebih dari wanita sehingga pandangan pria perkasa dan wanita yang lemah gemulai memberikan sedikit gambaran tentang ketidak berdayaan perempuan dalam masyarakat tradisional, ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ .
Kekerasan dalam rumah tangga, dimana suami melakukan suatu tindakan kekerasan kepada istrinya dalam masyarakat tradisional adalah dianggap “wajar” akibat dari persepsi yang ada pada masa itu. Bahkan di salah satu propinsi India, terdapat suatu adat yang mengharuskan sang istri ikut dibakar bersama jasad suaminya yang meninggal, tentu hal ini dianggap tradisi yang wajar oleh mereka. Ada anggapan dibeberapa negara terbelakang yang warganya lebih menginginkan anak pria dari pada wanita karena nilai yang bisa dihasilkan anak laki-laki bagi keluarganya adalah lebih besar.
Pemukulan, penyiksaan yang dilakukan suami terhadap istrinya pada saat adanya persoalan diantara mereka, pada masa itu dianggap wajar. Ada anggapan “perlu diberi pelajaran” yaitu tindakan yang dianggap mendidik sang istri dengan perlakuan fisik berupa pemukulan oleh suami, dianggap adalah tindakan yang wajar bahkan perlu dilakukan oleh masyarakat pada zamannya.
Fenomena inilah yang menjadi penyebab kenapa kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang wajar pada masyarakat tradisional.

Gerakan Pembaharuan
Kekerasan dalam rumah tangga saat ini menjadi issue yang penting, diberbagai negara saat ini telah ditetapkan undang-undang yang melindungi adanya kekerasan dalam rumah tangga. Mengapa masyarakat saat ini begitu peduli terhadap hal tersebut? Suatu keadaan yang kontradiktif dibandingkan dengan paradigma yang terbentuk dari masyarakat lampau. Hal ini menarik untuk diperbincangkan, dan topik utama dalam tulisan ini adalah mencoba membahas fenomena tersebut.
Pengaruh utama yang ada dari pergeseran pandangan tersebut adalah adanya perjuangan gerakan feminisme global yang memperjuangkan paradigma mengenai kedudukan wanita terhadap pria.

Melalui perjuangan inilah mulai terjadinya pergeseran pandangan yang meluas keseluruh dunia. Masih ada dibeberapa bagian dunia yang masih memiliki pandangan lama, namun keyakinan akan pergeseran pandangan tersebut masih sangat optimistik karena perjalanan
waktu akan memberikan perubahan menyeluruh.
Perbaikan pandangan terhadap kedudukan wanita bermulai di Eropa dengan berkembangnya gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme lanjut pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.
Pengaruh Kedua adalah pergeseran nilai moral yang ada dimasyarakat untuk membentuk suatu nilai-nilai etika yang baru.

Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno “ ethos” yang dalam bentuk tunggal dapat berarti : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berfikir, dalam bentuk jamak : adat kebiasaan. Aristoteles (384-322 SM) memakai istilah ini untuk menjelaskan suatu filsafat moral. Istilah etika dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu tentang yang biasa dilakukan ataupun tentang adat kebiasaan. Istilah yang terdekat adalah kata “moral”, yang berasal dari bahasa latin , berarti: kebiasaan, adat.
Istilah-istilah “moral” dan “immoral” dapat berarti : “moral” adalah segala sesuatu yang berdasarkan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan adat/baik, sedangkan “immoral” dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan adat/keburukan. Pernyataan-pernyataan mengenai suatu keadaan dalam konteks baik atau buruknya tindakan keseharian yang ada dimasyarakat, memberikan pemikiran baru yang terus berkembang dikalangan masyarakat baru tersebut. Masyarakat tradisional memiliki tradisi-tradisi yang sangat kuat sehingga norma yang timbul dari tradisi tersebut menciptakan adanya suatu nilai-nilai etika yang spesifik pula. Pada masyarakat modern dimana struktur masyarakat yang ada sangat heterogen dan plural, bentuk tradisi tidaklah terlalu dipersoalkan, maka nilai etika yang timbul melahirkan suatu nilai-nilai baru, yang menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Nilai-nilai tersebut dapat dicirikan sebagai berikut:
1. Adanya pluralisme moral.
2. Timbul masalah etis baru yang dulu tidak terduga.
3. Tampak semakin jelas suatu kepedulian etis yang universal.
Pluralisme moral terutama saat ini dirasakan, karena kemajuan era globalisasi melalui teknologi yang sangat mutakhir, baik internet ataupun sarana komunikasi lainnya. Keadaan inilah yang memberikan pandangan baru yang memberikan perubahan paradigma lama dari pengaruh yang menyebabkan adanya berbagai perubahan yang ada.
Pergeseran persepsi yang ada mengenai hubungan suami-istri dan pengaruh pertumbuhan perubahan nilai-nilai moralitas akibat perkembangan pemikiran-pemikiran modern, maka akan membentuk suatu “ketentuan etika” yang baru dan akan diberlakukan berdasarkan bentuk perubahan tersebut.
Perubahan pandangan legalitas tindakan penyiksaan istri oleh suami melalui nilai-nilai yang mempengaruhi pertumbuhan moralitas modern (nilai2 hak asasi manusia, rohani, ilmu kesehatan, ilmu komunikasi, ilmu sosial, hukum, dll) memberikan pergeseran pemahaman terhadap kekerasan sebagai suatu tindakan kekerasan yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kemanusiaan, kesehatan dan kerohanian, dsb. Menyebabkan perubahan sikap antara suami-istri dalam berkeluarga.
Pengaru Ketiga adalah adanya pemikiran Post-Modernisme.

Pemikiran Post-modern memberikan dampak perubahan paradigma lama, terutama dengan adanya ide pemikiran dari Habermas yang berfokus kepada ide “keadalilan” diruang publik.
Maka ide tersebut meluas memberikan suatu pendapat berfokus kepada rasio.
Karena manusia memiliki rasio, maka ia bisa menjadi poros alam. Jadi Rasiolah yang menjadi pusat kesempurnaan manusia. Selain itu, manusia juga memiliki kebebasan berkehendak (free will) yang tidak boleh dihalangi, demi kemajuan manusia. Maka berdasarkan rasio dan kebebasan inilah muncul pemikiran liberalisme yang berarti meminimilir secara optimal batas gerak manusia.
Konsep ini dapat memberikan berbagai perubahan pandangan dari masyarakat sekarang, yang lebih menghargai nilai-nilai kebebasan seseorang terutama dalam konteks ini adalah pasangannya dalam kehidupan keluarga.
Konsep pemikiran diataslah menurut penulis, saat ini memberikan suatu pencerahan dalam pandangan kehidupan berkeluarga, yang lebih sehat dan dinamis untuk saling bahu membahu membangun cita-cita bersama.
Takut akan Tuhan, dan prinsip saling menghargai adalah hal pokok yang harus dipahami seluruh individu yang sudah membangun, ataupun berencana membangun keluarga yang harmonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar