pertanian

pertanian
selamat bekerja

Selasa, 27 November 2012

Menengok keberhasilan pembangunan lahan kritis di Kabupaten Gunung Kidul





Cerita Kabupaten Gunung Kidul sering terdengar tatkala musim kering tiba, dengan berita kekeringan dan kekurangan air, selain cerita tingkat kemiskinan yang masih tinggi, dibalik itu semua ternyata pemerintah daerah dan masyarakat dengan melibatkan akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada serta dukungan pihak-pihak lainnya tengah berupaya keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada, diantaranya dengan upaya pembangunan di bidang kehutanan dan menempatkan pembangunan kehutanan menjadi bagian penting (sub sistem) dari pembangunan wilayah, kesungguhan ini ditunjukan dengan merubah lahan kritis (areal berbatu dan gersang) menjadi areal yang ditumbuhi vegetasi dan diperolehnya Sertifikat Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dari PT.TUV Internasional dengan standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yaitu desa Kedungkeris kec. Nglipar, desa Dengok kec. Playen dan desa Girisekar kec. Panggang. Karena itu lebih jauh tujuan pengelolaan hutan adalah untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat .
Karakteristik kabupaten Gunung Kidul
Kabupaten Gunung Kidul memiliki luas wilayah 1.485,36 Km², atau sekitar 46,63 % (hampir separuh) luas Propinsi D.I Yogyakarta, menurut wlayah administratifnya dibagi dalam 18 Kecamatan dan 144 desa, secara biofisik kabupaten Gunung Kidul dikenal sebagai daerah tandus dengan lahan berbatu dan identik dengan kekeringan dan kemiskinan. Luas lahan kritis aktual adalah 15. 611 ha dan dari jumlah penduduk 758.886 jiwa, sebanyak 68,63 % bermata pencaharian sebagai petani dengan kepemilikan lahan <>
Dengan tantangan alam yang keras mendorong masyarakat Gunung Kidul lebih mandiri dan responsif terhadap perubahan, hal ini sejalan dari VISI kabupaten Gunung Kidul “ Menjadi pemerintah daerah yang baik dan bersih, responsif untuk mendukung terwujudnya masyarakat mandiri dan kompetitif” dan salah satu MISI penting yang ingin dicapai adalah : Mewujudkan pengembangan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) wilayah yang berwawasan lingkungan dengan pendekatan kewilayahan.
Tidak sekedar pembangunan kehutanan tetapi pembangunan wilayah
Pengelolaan sumber daya hutan saja tidak cukup, karena masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup juga perlu dirancang secara terstruktur dalam setiap rencana pembangunan hutan. Pengelolaan sumber daya hutan, walaupun sudah memperhatikan keanekaragaman hayati dan kepentingan rakyat setempat, masih dikembangkan dengan titik berat untuk memenuhi fungsi ekonomi.
Sesuai dengan kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk menjaga ekosistem permukaan planet bumi ini, oleh karena itu, dengan semakin banyaknya jumlah penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung akan menjadi lebih penting dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan dari hutan. Dalam kondisi seperti itu, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi akan berubah menjadi hasil sampingan (side products) sedang hasil utama yang diharapkan dari hutan adalah fungsi perlindungan lingkungan.
Begitupun yang tampak di Kabupaten Gunung Kidul tidak hanya pembangunan kehutanan pada lahan kritis, lebih dari itu pembangunan yang tampak adalah sebuah design pembangunan wilayah, perubahan yang tampak secara kasat mata memperlihatkan pembangunan yang terintegrasi dan gradual yang dimulai dari pembangunan kehutanan yang telah menampakan hasil, sebagian lahan berbatu telah berhasil direhabilitasi menjadi lahan yang ditumbuhi vegetasi, tentu masyarakat Gunung Kidul tidak melakukannya sendirian, inisiasi teknologi rehabilitasi melibatkan akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, serta dukungan Pemerintah Daerah Gunung Kidul. Dengan tantangan alam yang keras disadari oleh masyarakat maupun pemerintah daerahnya untuk membangun Kabupaten Gunung Kidul adalah tidak mungkin tanpa diawali kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Kesadaran masyarakat yang tinggi untuk mendukung pembangunan kehutanan sebagai bagian dari pembangunan wilayah di kabupaten Gunung Kidul, telah mendorong masyarakat untuk terlibat secara penuh di dalam pengelolaan hutan, dengan beberapa hal yang menjadi ciri pokoknya :
a. Pembangunan kehutanan ditempatkan sebagai bagian (sub sistem) dari sistem pembangunan wilayah, karena kenyataanya bahwa pengelolaan hutan tak dapat dipisahkan dari pengaruh faktor sosial.
b. Karena titik (a) tersebut, maka tujuan pengelolaan hutan adalah untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Untuk dapat merumuskan tujuan pengelolaan hutan yang relevandengan kondisi wilayah dan kepentingan masyarakat, maka prosedur perencanaan dimulai dari identifikasi masalah pembangunan wilayah dengan disertai informasi yang jelas (data kuantitatif). Prosedur perencanaan dimaksud tersebut merupakan perencanaan holistik karena memandang hutan sebagai bagian (sub sistem) dari sistem pembangunan wilayah.
d. Setelah masalah pembangunan wilayah dapat dirumuskan, langkah berikutnya adalah merumuskan sistem pengelolaan hutan yang dapat ikut menjawab masalah pembangunan wilayah tersebut. Untuk itu perumusan sistem pengelolaan hutan harus berusaha agar :
1) Memaksimumkan produksi kayu, termasuk kayu bakar, agar perusahaan hutan tetap dapat memperoleh keuntungan yang layak sehingga pengelolaan hutan dapat berjalan dengan sehat.
2) Memaksimumkan hasil hutan non kayu yang dapat digunakan untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat di sekitar hutan.
3) Mempertahankan atau membina perananan hutan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup serta perlindungan terhadap sumber genetik asli, terutama yang sudah langka, baik flora maupun fauna.
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan
Peran serta membangun hutan tanaman telah ditunjukan secara nyata oleh masyarakat setempat melalui pengembangan hutan tanaman rakyat yang dibantu melalui APBD (s.d tahun 2006) seluas 2.080 ha, APBN (s.d tahun 2006) seluas 5.095 ha melalui Program GERHAN, swadaya masyarakat melalui kegiatan penghijauan swadaya mencapai luas 22.476 ha dan peran serta BUMN Peduli Penghijauan seluas 500 ha.
Ditengah cerita rendahnya tingkat keberhasilan pelaksanaan penanaman GERHAN di beberapa daerah, Gunung Kidul justru menunjukan tingkat keberhasilan tanaman yang cukup tinggi, masyarakat menyadari GERHAN merupakan bagian pembangunan kehutanan yang akan memberikan keuntungan pada masyarakat, tidak hanya keuntungan finansial lebih dari itu adalah fungsi lindung, hal ini tentunya tidak sekedar karena Gunung Kidul merupakan titik awal pencanangan GERHAN yang ditandai oleh penanaman simbolis oleh Presiden Megawati dan Taufik Kiemas, tetapi lebih dari itu karena tantangan alam yang keras serta adanya kesungguhan masyarakat dan pemerintah daerahnya untuk membangun kehutanan sebagai sebuah Sumber Daya.
Kegiatan pembangunan kehutanan lainnya ditunjukan dengan program HKm yaitu kegiatan reboisasi di dalam kawasan hutan dengan luas 1.087,65 ha dari luas areal yang dicadangkan 4.168 ha dengan sasaran 35 kelompok tani HKm, dimana pada tahun 2003 dan 2004 telah mendapat izin sementara pengelolaan dari Bupati Gunung Kidul dalam jangka waktu 5 tahun. Kegiatan penghijauan sempadan pantai sepanjang 64,4 km, penghijauan lingkungan puncak seribu untuk melestarikan kawasan karst pengunungan seribu seluas 100 ha, penghijauan tanah AB seluas 500 ha dan penanaman pada lingkungan pendidikan melalui program Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM).
Sertifikasi pengelolaan hutan rakyat
Berbeda dengan hutan alam maupun hutan tanaman monokultur, hutan rakyat dikembangan dengan budidaya manusia yang sangat intensif. Hutan rakyat yang dimaksudkan disini ditanam campur dengan tanaman semusim penghasil pangan, sayur-sayuran maupun tanaman keras penghasil buah-buahan. Bergantung pada luas pemilikan lahan, tenaga kerja keluarga, pekerjaan pokok maupun sampingan, serta keadaan fisik lahan, hutan rakyat di daerah Gunung Kidul dapat dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu (Munawar, 1984) :
1. Pohon-pohon hanya ditanam sepanjang batas lahan milik, sedang sebagian besar lahan ditanami dengan tanaman semusim, khususnya penghasil pangan.
2. Pohon-pohonan ditanam sepanjang batas lahan milik dan teras untuk mengendalikan erosi, dan diantara teras ditanami dengan tanaman semusim penghasil pangan atau sayur-sayuran.
3. seluruh bidang lahan ditanami dengan pohon-pohonan saja, karena tanahnya kurus, berbatu-batu, miring atau memang pemiliknya memiliki lahan yang cukup luas sehingga tidak tergarap.
Khususnya untuk bentuk hutan rakyat yang pertama dan kedua, berarti tanah relatif subur dan datar. Disini ada upaya pengerjaan tanah, yang dilakukan secara intensif oleh pemiliknya, yang sebenarnya hanya ditujukan untuk kepentingan tanaman semusim saja. Tetapi pengerjaan tanah yang menjaga aerasi tersebut, ditambah dengan masukan pupuk kimia maupun kompos, juga berdampak positif terhadap kesuburan pertumbuhan pohon-pohonan. Oleh karena itu, kualitas ekosistem hutan rakyat semakin lama malah akan semakin baik.
Keberhasilan dalam mewujudkan Pengembangan hutan rakyat lestari (HRL) di Kabupaten Gunung Kidul ditunjukan dengan diperolehnya Sertifikat Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dari PT.TUV Internasional dengan standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yaitu desa Kedungkeris kec. Nglipar, desa Dengok kec. Playen dan desa Girisekar kec. Panggang. Kegiatan Sosialisasi HRL terus ditingkatkan, pada tahun 2007 direncanakan pada 69 desa dan pada tahun 2008 direncanakan pada 72 desa. Untuk menuju Sertifikasi HRL program ini didukung dengan Pokja HRL yang melibatkan berbagai unsur : Pemerintah Daerah, LSM Tokoh Masyarakat dan Kelompok Tani. Keberhasilan ini didukung adanya pemberdayaan kelembagaan yaitu pemberdayaan aparatur melalui penataan kelembagaan, pemberdayaan masyarakat melalui penguatan kelembagaan dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dalam RHL, sampai saat ini terdapat 821 kelompok tani hutan di kabupaten gunung kidul, peningkatan kerjasama dengan stakeholders seperti Perguruan Tinggi, LSM dan pihak-pihak swasta yang terwadahi dalam Pokja.
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi
Pada kenyataannya dalam pembangunan kehutanan di kabupaten Gunung Kidul, terdapat beberapa kendala dan tantangan seperti :
1. Kondisi geografis dan iklim spesifik (bulan kering lebih panjang);
2. Kebutuhan hidup masyrakat relatif masih tergantung pada hasil hutan biasanya menebang pohon untuk dijual kayunya pada saat membutuhkan (tebang butuh);
3. Belum adanya pengaturan hasil hutan rakyat secara definif;
4. Terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan permodalan kelompok tani dalm pengolahan hasil;
5. Masih banyaknya pengelolaan lahan oleh masyarakat yang tidak mengindahkan kaidah konservasi sebagai akibat kepemilikan lahan yang sempit;
6. Pengembangan hutan rakyat baru mencapai kurang lebih separuhnya dari potensi hutan rakyat seluas 50.144 ha.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengatasi/mengurangi permasalahan yang ada, diantaranya dengan cara :
  1. Memprioritaskan lahan kritis sebagai sasaran kegiatan dengan pendekatan wilayah yang rawan kemiskinan dengan pengembangan tanaman bibit unggul;
  2. Menyusun dan melaksanakan pentahapan dalam pembangunan kehutanan Gunung Kidul yang meliputi : Asal Hijau (dengan tanaman kayu-kayuan jeins pionir), Hijau Plus (dengan bibit unggul bersertifikat, jenis kayu mewah) dan mandiri (masyarakat secara swadaya dapat mengelola SDH dan lahan secara lestari dan mandiri).
  3. Kerjasama lintas sektoral :
a. Kerjasama antara Dishutbun dengan Dinas pendidikan untuk memasukan masalah lingkungan (hutan dan kehutanan) dalam kurikulum Sekolah Dasar.
b. Kerjasama antara Dishutbun dengan Kantor Depag dengan membuat ketentuan bagi calon pengantin yang akan menikah, harus menyerahkan 5 bibit tanaman kepada pihak Balai Nikah untuk seterusnya penanamannya diatur oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul.
Hal ini tiada lain untuk membangun kesadaran masyarakat sejak dini akan pentingnya lingkungan hidup.
Oleh : Abdul Kodir Mancanagara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar