Cerita Kabupaten Gunung Kidul sering
terdengar tatkala musim kering tiba, dengan berita kekeringan dan kekurangan
air, selain cerita tingkat kemiskinan yang masih tinggi, dibalik itu semua
ternyata pemerintah daerah dan masyarakat dengan melibatkan akademisi Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada serta dukungan pihak-pihak lainnya tengah berupaya keras
mengatasi persoalan-persoalan yang ada, diantaranya dengan upaya pembangunan di
bidang kehutanan dan menempatkan pembangunan kehutanan menjadi bagian penting
(sub sistem) dari pembangunan wilayah, kesungguhan ini ditunjukan dengan merubah
lahan kritis (areal berbatu dan gersang) menjadi areal yang ditumbuhi vegetasi
dan diperolehnya Sertifikat Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dari PT.TUV
Internasional dengan standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yaitu desa
Kedungkeris kec. Nglipar, desa Dengok kec. Playen dan desa Girisekar kec.
Panggang. Karena itu lebih jauh tujuan pengelolaan hutan adalah untuk ikut
meningkatkan kesejahteraan masyarakat .
Karakteristik kabupaten Gunung Kidul
Kabupaten Gunung Kidul memiliki luas wilayah 1.485,36 Km², atau
sekitar 46,63 % (hampir separuh) luas Propinsi D.I Yogyakarta, menurut wlayah administratifnya
dibagi dalam 18 Kecamatan dan 144 desa, secara biofisik kabupaten Gunung Kidul
dikenal sebagai daerah tandus dengan lahan berbatu dan identik dengan kekeringan
dan kemiskinan. Luas lahan kritis aktual adalah 15. 611 ha dan dari jumlah
penduduk 758.886 jiwa, sebanyak 68,63 % bermata pencaharian sebagai petani
dengan kepemilikan lahan <>
Dengan tantangan alam
yang keras mendorong masyarakat Gunung Kidul lebih mandiri dan responsif
terhadap perubahan, hal ini sejalan dari VISI kabupaten Gunung Kidul “ Menjadi
pemerintah daerah yang baik dan bersih, responsif untuk mendukung terwujudnya
masyarakat mandiri dan kompetitif” dan salah satu MISI penting yang ingin dicapai
adalah : Mewujudkan pengembangan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) wilayah
yang berwawasan lingkungan dengan pendekatan kewilayahan.
Tidak sekedar pembangunan kehutanan tetapi
pembangunan wilayah
Pengelolaan sumber
daya hutan saja tidak cukup, karena masalah-masalah yang berkaitan dengan
lingkungan hidup juga perlu dirancang secara terstruktur dalam setiap rencana
pembangunan hutan. Pengelolaan sumber daya hutan, walaupun sudah memperhatikan
keanekaragaman hayati dan kepentingan rakyat setempat, masih dikembangkan
dengan titik berat untuk memenuhi fungsi ekonomi.
Sesuai dengan
kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk menjaga ekosistem
permukaan planet bumi ini, oleh karena itu, dengan semakin banyaknya jumlah
penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung akan menjadi lebih penting
dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan dari hutan. Dalam kondisi
seperti itu, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi akan berubah menjadi hasil
sampingan (side products) sedang hasil utama yang diharapkan dari hutan
adalah fungsi perlindungan lingkungan.
Begitupun yang tampak
di Kabupaten Gunung Kidul tidak hanya pembangunan kehutanan pada lahan kritis,
lebih dari itu pembangunan yang tampak adalah sebuah design pembangunan
wilayah, perubahan yang tampak secara kasat mata memperlihatkan pembangunan
yang terintegrasi dan gradual yang dimulai dari pembangunan kehutanan yang
telah menampakan hasil, sebagian lahan berbatu telah berhasil direhabilitasi
menjadi lahan yang ditumbuhi vegetasi, tentu masyarakat Gunung Kidul tidak
melakukannya sendirian, inisiasi teknologi rehabilitasi melibatkan akademisi
Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, serta dukungan Pemerintah Daerah
Gunung Kidul. Dengan tantangan alam yang keras disadari oleh masyarakat maupun pemerintah
daerahnya untuk membangun Kabupaten Gunung Kidul adalah tidak mungkin tanpa
diawali kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Kesadaran masyarakat
yang tinggi untuk mendukung pembangunan kehutanan sebagai bagian dari
pembangunan wilayah di kabupaten Gunung Kidul, telah mendorong masyarakat untuk
terlibat secara penuh di dalam pengelolaan hutan, dengan beberapa hal yang
menjadi ciri pokoknya :
a. Pembangunan kehutanan ditempatkan sebagai
bagian (sub sistem) dari sistem pembangunan wilayah, karena kenyataanya bahwa
pengelolaan hutan tak dapat dipisahkan dari pengaruh faktor sosial.
b. Karena titik (a) tersebut, maka tujuan
pengelolaan hutan adalah untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Untuk dapat merumuskan tujuan pengelolaan
hutan yang relevandengan kondisi wilayah dan kepentingan masyarakat, maka
prosedur perencanaan dimulai dari identifikasi masalah pembangunan wilayah
dengan disertai informasi yang jelas (data kuantitatif). Prosedur perencanaan
dimaksud tersebut merupakan perencanaan holistik karena memandang hutan sebagai
bagian (sub sistem) dari sistem pembangunan wilayah.
d. Setelah masalah pembangunan wilayah dapat
dirumuskan, langkah berikutnya adalah merumuskan sistem pengelolaan hutan yang
dapat ikut menjawab masalah pembangunan wilayah tersebut. Untuk itu perumusan
sistem pengelolaan hutan harus berusaha agar :
1) Memaksimumkan produksi kayu, termasuk kayu
bakar, agar perusahaan hutan tetap dapat memperoleh keuntungan yang layak
sehingga pengelolaan hutan dapat berjalan dengan sehat.
2) Memaksimumkan hasil hutan non kayu yang dapat
digunakan untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat di sekitar hutan.
3) Mempertahankan atau membina perananan hutan
untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup serta perlindungan terhadap
sumber genetik asli, terutama yang sudah langka, baik flora maupun fauna.
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan hutan
Peran serta membangun
hutan tanaman telah ditunjukan secara nyata oleh masyarakat setempat melalui
pengembangan hutan tanaman rakyat yang dibantu melalui APBD (s.d tahun 2006)
seluas 2.080 ha, APBN (s.d tahun 2006) seluas 5.095 ha melalui Program GERHAN,
swadaya masyarakat melalui kegiatan penghijauan swadaya mencapai luas 22.476 ha
dan peran serta BUMN Peduli Penghijauan seluas 500 ha.
Ditengah cerita
rendahnya tingkat keberhasilan pelaksanaan penanaman GERHAN di beberapa daerah,
Gunung Kidul justru menunjukan tingkat keberhasilan tanaman yang cukup tinggi,
masyarakat menyadari GERHAN merupakan bagian pembangunan kehutanan yang akan
memberikan keuntungan pada masyarakat, tidak hanya keuntungan finansial lebih
dari itu adalah fungsi lindung, hal ini tentunya tidak sekedar karena Gunung
Kidul merupakan titik awal pencanangan GERHAN yang ditandai oleh penanaman simbolis
oleh Presiden Megawati dan Taufik Kiemas, tetapi lebih dari itu karena
tantangan alam yang keras serta adanya kesungguhan masyarakat dan pemerintah
daerahnya untuk membangun kehutanan sebagai sebuah Sumber Daya.
Kegiatan pembangunan
kehutanan lainnya ditunjukan dengan program HKm yaitu kegiatan reboisasi di
dalam kawasan hutan dengan luas 1.087,65 ha dari luas areal yang dicadangkan
4.168 ha dengan sasaran 35 kelompok tani HKm, dimana pada tahun 2003 dan 2004
telah mendapat izin sementara pengelolaan dari Bupati Gunung Kidul dalam jangka
waktu 5 tahun. Kegiatan penghijauan sempadan pantai sepanjang 64,4 km,
penghijauan lingkungan puncak seribu untuk melestarikan kawasan karst
pengunungan seribu seluas 100 ha, penghijauan tanah AB seluas 500 ha dan penanaman
pada lingkungan pendidikan melalui program Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM).
Sertifikasi pengelolaan hutan rakyat
Berbeda dengan hutan
alam maupun hutan tanaman monokultur, hutan rakyat dikembangan dengan budidaya
manusia yang sangat intensif. Hutan rakyat yang dimaksudkan disini ditanam
campur dengan tanaman semusim penghasil pangan, sayur-sayuran maupun tanaman
keras penghasil buah-buahan. Bergantung pada luas pemilikan lahan, tenaga kerja
keluarga, pekerjaan pokok maupun sampingan, serta keadaan fisik lahan, hutan
rakyat di daerah Gunung Kidul dapat dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu
(Munawar, 1984) :
1. Pohon-pohon hanya ditanam sepanjang batas
lahan milik, sedang sebagian besar lahan ditanami dengan tanaman semusim,
khususnya penghasil pangan.
2. Pohon-pohonan ditanam sepanjang batas lahan
milik dan teras untuk mengendalikan erosi, dan diantara teras ditanami dengan
tanaman semusim penghasil pangan atau sayur-sayuran.
3. seluruh bidang lahan ditanami dengan
pohon-pohonan saja, karena tanahnya kurus, berbatu-batu, miring atau memang
pemiliknya memiliki lahan yang cukup luas sehingga tidak tergarap.
Khususnya untuk bentuk
hutan rakyat yang pertama dan kedua, berarti tanah relatif subur dan datar.
Disini ada upaya pengerjaan tanah, yang dilakukan secara intensif oleh
pemiliknya, yang sebenarnya hanya ditujukan untuk kepentingan tanaman semusim
saja. Tetapi pengerjaan tanah yang menjaga aerasi tersebut, ditambah dengan
masukan pupuk kimia maupun kompos, juga berdampak positif terhadap kesuburan pertumbuhan
pohon-pohonan. Oleh karena itu, kualitas ekosistem hutan rakyat semakin lama
malah akan semakin baik.
Keberhasilan dalam
mewujudkan Pengembangan hutan rakyat lestari (HRL) di Kabupaten Gunung Kidul
ditunjukan dengan diperolehnya Sertifikat Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dari
PT.TUV Internasional dengan standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yaitu desa
Kedungkeris kec. Nglipar, desa Dengok kec. Playen dan desa Girisekar kec.
Panggang. Kegiatan Sosialisasi HRL terus ditingkatkan, pada tahun 2007
direncanakan pada 69 desa dan pada tahun 2008 direncanakan pada 72 desa. Untuk
menuju Sertifikasi HRL program ini didukung dengan Pokja HRL yang melibatkan
berbagai unsur : Pemerintah Daerah, LSM Tokoh Masyarakat dan Kelompok Tani.
Keberhasilan ini didukung adanya pemberdayaan kelembagaan yaitu pemberdayaan
aparatur melalui penataan kelembagaan, pemberdayaan masyarakat melalui
penguatan kelembagaan dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dalam
RHL, sampai saat ini terdapat 821 kelompok tani hutan di kabupaten gunung
kidul, peningkatan kerjasama dengan stakeholders seperti Perguruan Tinggi, LSM
dan pihak-pihak swasta yang terwadahi dalam Pokja.
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi
Pada kenyataannya dalam pembangunan kehutanan
di kabupaten Gunung Kidul, terdapat beberapa kendala dan tantangan seperti :
1. Kondisi geografis dan iklim spesifik (bulan
kering lebih panjang);
2. Kebutuhan hidup masyrakat relatif masih
tergantung pada hasil hutan biasanya menebang pohon untuk dijual kayunya pada
saat membutuhkan (tebang butuh);
3. Belum adanya pengaturan hasil hutan rakyat
secara definif;
4. Terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan
permodalan kelompok tani dalm pengolahan hasil;
5. Masih banyaknya pengelolaan lahan oleh
masyarakat yang tidak mengindahkan kaidah konservasi sebagai akibat kepemilikan
lahan yang sempit;
6. Pengembangan hutan rakyat baru mencapai kurang
lebih separuhnya dari potensi hutan rakyat seluas 50.144 ha.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk
mengatasi/mengurangi permasalahan yang ada, diantaranya dengan cara :
- Memprioritaskan
lahan kritis sebagai sasaran kegiatan dengan pendekatan wilayah yang rawan
kemiskinan dengan pengembangan tanaman bibit unggul;
- Menyusun
dan melaksanakan pentahapan dalam pembangunan kehutanan Gunung Kidul yang
meliputi : Asal Hijau (dengan tanaman kayu-kayuan jeins pionir), Hijau
Plus (dengan bibit unggul bersertifikat, jenis kayu mewah) dan mandiri
(masyarakat secara swadaya dapat mengelola SDH dan lahan secara lestari
dan mandiri).
- Kerjasama
lintas sektoral :
a. Kerjasama antara Dishutbun dengan Dinas
pendidikan untuk memasukan masalah lingkungan (hutan dan kehutanan) dalam
kurikulum Sekolah Dasar.
b. Kerjasama antara Dishutbun dengan Kantor Depag
dengan membuat ketentuan bagi calon pengantin yang akan menikah, harus
menyerahkan 5 bibit tanaman kepada pihak Balai Nikah untuk seterusnya
penanamannya diatur oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul.
Hal
ini tiada lain untuk membangun kesadaran masyarakat sejak dini akan pentingnya
lingkungan hidup.
Oleh
: Abdul Kodir Mancanagara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar