Tidak ada yang paling membahagiakan bagi seorang wanita yang telah menjalin hubungan percintaan dengan pria selain ajakan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih membahagiakan: pernikahan. Terlebih jika kita sudah begitu yakin akan keteguhan cinta yang selama ini ia tunjukkan kepada kita.
Namun, ketika ia menyampaikan lebih lanjut, bahwa pernikahan yang ditawarkan adalah pernikahan siri, dengan berbagai pertimbangan yang telah disampaikannya, hati kita ragu sementara. Perasaan untuk menolak tiba-tiba muncul sebentar. Tetapi saat rayuan mautnya meluncur dari tutur bahasanya, hati kita seolah takluk, kita disodorkan pada tawaran-tawaran kebahagiaan rumah tangga yang menggiurkan, menolak pun rasanya tak mampu, sebab kecintaan dan kepercayaan lebih unggul memenuhi relung.
Kenyataan bahwa nikah siri lebih merugikan bagi pihak wanita pun luput dari logika. Atau mungkin juga keterbatasan pemahaman wanita menjadi alasan yang membuat wanita mudah “luluh” di hadapan pria ketika nikah siri ditawarkan sebagai sebuah jenjang yang seolah serupa oase dari perjalanan cinta setelah sekian lama terjalin.
Sesungguhnya pernikahan siri hanyalah fatamorgana jika tak dibekali dengan pemahaman dan kecakapan wanita dalam membela hak-haknya ketika pernikahan itu dilangsungkan. Maka menjadi penting bagi para wanita untuk memahamkan diri mereka sendiri tentang seluk beluk pernikahan siri.
Kasus pernikahan siri antara seorang Bupati dengan seorang gadis berusia 18 tahun yang kemudian diceraikan secara sia-sia menjadi perhatian para wanita akhir-akhir ini. Was-was pun menggelayut, sebab pernikahan yang diharapkan merupakan samudera kebahagiaan ternyata bisa saja berjalan penuh penderitaan.
Illegal Marriage
Sebuah media internasional, Asia News Network memberikan judul “Disgraced Indonesian regent raises concern on illegal marriage” untuk kasus pernikahan Bupat Garut. Diksi “Illegal Married” seolah meneguhkan bahwa pernikahan siri adalah jalinan pernikahan yang tidak sah. Secara administratif, pernikahan siri memang sebuah pernikahan yang tidak sah di mata hukum, sebab ia dilangsungkan secara agama semata. Pernikahan siri memang sah, secara agama, tapi cacat secara negara.
Karena tidak sah secara negara itulah, istri yang dinikah secara siri pada gilirannya tidak bisa mendapatkan hak untuk menuntut dinafkahi dan diberi warisan. Pun, ia tak berhak mendapatkan perlindungan secara hukum jika sewaktu-waktu terjadi pelanggaran yang dilakukan sang suami.
Alih-alih ingin hidup harmonis paska menikah (siri), justru peluang adanya tindakan KDRT malah terbuka lebar. Hendak menuntut keadilan pun sulit sebab terjepit pada persoalan legalitas dan administrasi: pernikahan yang dilakukan tak tercatat secara resmi.
Karena ilegal di hadapan negara, buah hati yang telah dihasilkan dari pernikahan siri pun tak memiliki status hukum yang jelas. Seyogyanya, pernikahan ialah perjalanan baru mengarungi kehidupan bersama keluarga baru; suami dan anak-anak tercinta. Namun ketika tersandung pada status hukum yang tak jelas, kebahagiaan yang hendak direguk pun justru rentan hancur karena ketidakpedulian kita terhadap pentingnya status hukum bagi kehidupan kita.
Status hukum menjadi penting kala kita berhadapan pada persoalan sosial dan ekonomi, sebab tanah air di mana kita hidup, seyogyanya memberi perlindungan bagi maghligai rumah tangga yang kita bina bersama pasangan tercinta. Sedang pernikahan itu sendiri sesungguhnya meliputi berbagai perspektif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Rasanya, tak ada manusia yang tak ingin hidup tanpa pijakan identitas dan legalitas yang jelas, pun kita sebagai manusia, juga anak-anak kita.
Diskriminasi Gender
Budaya yang makin maju rupanya tak menjadikan wanita terbebas sepenuhnya dari diskriminasi gender. Diskriminasi masih muncul di berbagai sendi kehidupan kita, terlebih dalam sebuah ikatan bernama pernikahan. Diskriminasi rentan muncul karena masih banyak wanita yang berpandangan bahwa wanita hanya perlu menjalankan kewajibannya sebagai istri semata, tapi tak perlu menuntut hak-hak yang sesungguhnya dimilikinya.
Pernikahan siri, atau dikenal dengan pernikahan di bawah tangan, berpotensi membuka lebar peluang diskriminasi, dikarenakan wanita tak bisa menuntut haknya untuk mendapatkan nafkah secara layak dari sang suami, juga harta gono-gini, sebab tak ada bukti tentang pernikahan mereka di Kantor Urusan Agama.
Dan ketika suatu saat terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang menjadikan wanita sebagai korbannya, wanita tak bisa banyak menuntut. Lagi-lagi, legalitas menjadi batu sandungan yang paling kasat mata.
Pengabaian atau pengacuhan suami terhadap istri pun rentan dilakukan dalam sebuah pernikahan siri. Seorang suami akan mudah “membuang” sang istri ketika ia dinikah secara siri, baginya, tak ada bukti yang bisa menuntutnya di pengadilan, maka mencampakkan sang istri pun bukanlah perkara yang sulit untuk dilakukan.
Menjadi wanita yang paham betul tentang pernikahan siri adalah cara cerdas jika suatu waktu si dia mengajak Anda menikah siri, Anda pun sudah seharusnya menjadi “partner” dalam rumah tangga, bukan hanya pihak yang “dikuasai” oleh pasangan Anda semata. Hubungan menghargai-dihargai pun akan muncul sebagai atmosfer yang harmonis ketika Anda memiliki posisi yang tegas sebagai wanita, dan cerdas memahami hak-hak yang Anda miliki.
Dengan posisi dan pilihan yang tegas, berikan pengertian bahwa menikah yang sah secara hukum adalah jalan terbaik untuk memasuki maghligai rumah tangga. Si dia pun menjadi sadar dan memahami bahwa Anda adalah wanita yang cerdas sebagai istrinya, dan ibu yang hebat bagi anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar