oleh Suara Rakyat pada 28 September 2010 pukul 17:07 ·
Keberadaan "penyuluh" setelah terbit nya UU No. 16/2006tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan danKehutanan, mesti nya lebih "membahana", dibandingkan dengan waktu sebelum UU No. 16/2006 dilahirkan. Apalagi jika hal tersebut kita kaitkan dengan terminologi penyuluh itu sendiri, dimana berdasarkan UU No. 16/2006, dikenali ada tiga klasifikasi penyuluh yakni Penyuluh PNS, Penyuluh Swasta dan Penyuluh Swadaya. Sayang, harapan yang demikian barulah indah tertulis di atas kertas. Fakta nya memperlihatkan hal yang berbeda. Geliat penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, terlihat lebih semarak ketika UU No. 16/2006 belum lahir.
Saat itu kita saksikan, betapa gagah perkasa nya para penyuluh pertanian melakukan gebrakan-gebrakan teknologi produksi kepada para petani. Petani dan penyuluh tampak mampu "berkolaborasi" dalam meningkatkan produksi berbagai komoditas pangan. Penyuluh betul-betul melaksanakan tugas dan kewajiban nya dalam pembelajaran, pemberdayaan dan pemartabatan petani beserta keluarga nya. Bahkan tidak sedikit para penyuluh yang merasa bangga dengan jati diri nya.Penyuluh sebagai simbol guru, obor dan problem solver, benar-benar mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari nya. Dari kondisi inilah kemudian lahir jargon "bersama-sama petani" para penyuluh siap membangun sistem pertanian yang maju, tangguh, mandiri dan berkelanjutan demi terjelma nya kehidupan petani beserta keluarga nya yang lebih berdaya dan lebih bermartabat lagi.
Sejak diterapkan nya era Otonomi Daerah, nasib dan penghidupan para penyuluh terlihat mulai memprihatinkan. Banyak penyuluh yang memudar ketegaran nya. Tidak sedikit penyuluh yang tergiur untuk menjadi pejabat struktural, sekali pun harus menjadi pejabat yang tupoksi nya sangat bertolak-belakang dengan disiplin ilmu yang dikuasai nya. Ada info seorang penyuluh pertanian mau menerima jabatan selaku Kepala Seksi Urusan Pemakaman. Tapi ada juga kabar tentang seorang penyuluh pertanian yang jadi anggota DPRD bahkan ada pula seorang penyuluh pertanian yang mampu menyabet posisi sebagai Bupati di suatu Kabupaten.
Pasang surut nasib penyuluh, rupa nya menjadi ciri utama bagaimana sebetul nya perkembangan dan perjalanan penyuluh pertanian dalam era otonomi daerah. Lebih banyak cerita nelangsa nya ketimbang yang menggembirakan. Lebih banyak kabar duka dari pada yang menyenangkan. Kesan penyuluh tidak diperhatikan oleh beberapa Kepala Daerah, acapkali mengemuka dan berkembang menjadi bahan perbincangan yang menghangatkan. Bahkan dukungan fasilitas yang sebelum berlaku nya era otonomi daerah dianggap memadai, kini tampak semakin mengenaskan. Para penyuluh sering dipandang sebelah mata. Terlebih-lebih ada anggapan bahwa pegawai fungsional itu tidak lebih keren dibandingkan dengan pegawai struktural.
Seseorang yang telah memilih profesi selaku penyuluh pertanian, sesungguh nya pantas kita hargai dan patut diberi acungan jempol. Dalam kehidupan yang semakin sofistikasi kita akan kesulitan memaksa anak muda untuk ngajak bergabung dalam korsa penyuluh. Hal ini lumrah tercipta, karena selain dari makin tidak populer nya profesi petani, ternyata "keberpihakan" politik Pemerintah untuk mengembalikan kejayaan sektor pertanian dalam pentas pembangunan pun, lebih mengedepan menjadi salah satu faktor yang membutuhkan penanganan lebih serius. Penyuluh adalah pekerjaan yang sangat mulia. Penyuluh bertugas untuk menyampaikan inovasi atau hal-hal baru yang harus dikenali dan dikuasai oleh para petani beserta keluarga nya. Penyuluh berkewajiban untuk mendampingi para petani dalam menghadapi suatu masalah. Bahkan di pundak para penyuluh ini lah terpikul beban untuk melestarikan swasembada beras dan melahirkan para petani yang mampu pula berkiprah selaku pengusaha yang leih matang dan profesional.
Kharisma Penyuluhan Pertanian, sebagaimana yang pernah tercipta di tahun 70 - 80 an, kini sudah seharus nya tetap merasuk dalam jiwa dan nurani para penyuluh di negeri ini. Kisah sukses para penyuluh sebagai "prime mover" dalam pencapaian swa-sembada beras, harus terus diwariskan dan ditularkan kepada para penyuluh muda yang secara rela dan ikhlas mau berkiprah di penyuluhan. THL TBPP (Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian) adalah aset yang cukup bernilai dan harus diperankan eksistensi nya. Mereka sebagai para penyuluh masa depan, seyogya nya diberi kepastian dalam menyongsong kehidupan nya. Mereka jangan direcokan oleh terhambat nya honorarium seperti yang tertera dalam kontrak kerja. Atau dihadang oleh ketidak-jelasan soal status mereka. Yang lebih memilukan adalah sekira nya Pemerintah (Pusat dan Daerah), ternyata tidak pernah mau untuk tampil menjadi ujung tombak nya di lapangan.
Salam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar